Senin, 05 Agustus 2013

Antara Istiqlal dan Katedral



Kita bukan Istiqlal dan Katedral, yang ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Jika mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka berdua saling jatuh cinta? – Artasya Sudirman






Tidak perlu ditanya lagi bagaimana jadinya apabila dua orang yang berbeda cara dalam menyebut nama “Tuhan” menjadi satu dalam suatu hubungan. Ada beberapa pilihan yang dapat diambil dengan konsekuensi masing-masing.

Perbedaan tak lagi tabu untuk saya, karena semenjak kecil saya telah melihat contoh nyata perbedaan tersebut. Sebuah contoh yang saya sendiri tak ingin mengalami hal itu. Perbedaan itu indah, entah siapa orang yang pertama kali mengatakan hal itu. Tapi, saya rasa kalimat itu benar adanya ketika dua orang yang berbeda bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling melengkapi.

Mungkin, aku dan kamu hanya saling mengagumi. Tak pernah berharap lebih dari hal ini.
Karena aku dan kamu sama-sama tahu, apa yang akan terjadi apabila aku dan kamu berjalan lebih jauh nanti. Kebahagiaan sesaat yang nantinya juga akan berujung pada sebuah perpisahan.

Saya hanya ingin mengucapkan terimakasih, untuk dia yang memakan sisa makanan saya saat buka buasa pertama, untuk dia yang ada saat kakek saya meninggal dunia 23 Juni lalu, untuk dia yang tidak suka dengan makanan pedas, untuk dia yang selalu meng-‘iya’-kan apa yang saya katakan, untuk dia yang (juga) bercita-cita pergi ke paris (seperti saya), dan untuk dia yang mengacak-acak rambut saya dengan lembut. Terimakasih untuk pernah lewat di dalam kehidupan saya.

Ahh! Seandainya lo bisa dateng ke wisuda gue ya *lalu nangis di pojokan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar