Selasa, 12 Maret 2013

A Shoulder




Ketika suatu buku menyebutkan bahwa “bahu” adalah bagian tubuh yang paling penting, aku tak menerima hal itu begitu saja. Aku lama berfikir. Kenapa bukan jantung? Bukankah jantung banyak berjasa buat tubuh kita? Jantung lah yang memompa darah, dibantu pembuluh darah yang mendistribusikan aliran darah didalam tubuh kita. Kenapa bukan paru-paru? Tanpa paru-paru, manusia tak dapat bernafas dengan baik. Paru-parulah tempat pertukaran udara antara oksigen dan juga karbon dioksida. Tanpa paru-paru, karbon dioksida akan berkumpul didalam tubuh dan menjadi toxic yang mematikan. Kenapa bukan hati? Tanpa adanya hati dan juga empedu, siapa yang membersihkan racun-racun didalam tubuh? Bukankah tanpa hati manusia juga akan mati rasa?

Aku pergi ke suatu café yang nampak ramai. Begitu ku buka pintu, seorang pelayan menyambutku dengan ramah. Tanpa berfikir panjang aku menuju meja paling pojok karena menurutku di situlah spot yang paling enak. Dari situ, kamu bisa melihat ke arah manapun dengan leluasa.

“Hot chocolate satu ya, Mbak,” pesanku pada pelayan yang telah berada di depanku.
“Oh iya, silakan ditunggu,” lalu pelayan itu pergi. Meninggalkanku seorang diri.

Aku melihat meja di sebelahku. Sepasang kekasih sedang berbincang-bincang. Si wanita tertawa hingga giginya yang begitu rapi terlihat oleh siapaun yang melihatnya. Si pria mengacak-acak rambutnya dengan lembut.

Aku melihat jauh ke depan. Disana ada segerombolan murid SMA yang masih berseragam. Ada yang sibuk membaca novel, ada yang sibuk bermain gadget, ada beberapa yang saling bercanda, dan ada seseorang yang terdiam. Entah apa yang dia fikirkan.

“Hai!” terlihat seorang wanita setengah baya, memakai dress selutut warna merah dan juga high heels hitam yang membuatnya nampak begitu tinggi menyapaku dari arah pintu masuk.
“Halo!” jawabku singkat.

Kemudian dia duduk di depanku, menceritakan ini dan itu. Mulai soal kuliah, soal fashion, soal music, soal film dan sampai mengenai keluarganya. Beberapa kemudian ada seorang pria menghampiri meja kami. Tersenyum ramah kepadaku. Dan tak lama kemudian, gadis didepanku berdiri. Menggandeng tangan pria itu, lalu pergi, meninggalkanku. Kejadian seperti itu entah sudah berapa kali ku alami.

Entah gelas ke berapa yang diantarkan pelayan ini ke meja tempat dimana aku duduk sekarang. Entah sudah berapa banyak orang yang datang dan pergi ke café ini. Entah sudah berapa lama, aku masih terdiam di sini.

Kini aku mengerti, mengapa bahu menjadi sangat penting. Bahu menjadi tempat bersandar, seperti yang dilakukan sekawanan remaja belasan tahun yang kini berada di meja yang hanya selisih dua meja dariku. Remaja itu menyandarkan kepalanya ke bahu salah seorang temannya sambil asyik menelfon seseorang yang entah berada dimana. Bahu juga tempat untuk tangan ini berpegang erat. Seperti yang dilakukan seorang wanita yang baru saja masuk ke café ini sambil memegang erat bahu kekasihnya. Bahu juga menjadi tempat untuk menanggung beban. Bukankah ketika datang sebuah cobaan sebaiknya kita meminta pada Tuhan untuk diberikan bahu yang lebih kuat? Bukan pada mengurangi beban yang harus kita pikul. Dan yang paling penting, bahu bisa menjadi tempat untuk kita menangis. Iya, seperti sekarang. I need a shoulder, to cry on :”)

                                             Semarang, 7 March 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar