Sabtu, 26 Oktober 2013

Sebuah Perjalanan



Memutuskan meninggalkan pekerjaan yang telah saya dapatkan dan memulai lagi dari awal, adalah keputusan yang akhirnya saya ambil. Keraguan yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan tersebut. Entahlah, saya masih merasa ragu. Ketika kebanyakan teman saya menginginkan pekerjaan di perusahaan tersebut dan ketika banyak orang-orang di luar sana berpetualang menjadi jobseeker (seperti saya saat ini yang kembali memilih jalan itu), saya memilih resign. Banyak yang menganggap saya bodoh, mungkin. Tapi saya percaya Allah punya banyak pintu rejeki di depan sana.

Saya bersyukur mempunyai orang tua yang selalu mensupport apapun pilihan saya. Pada awalnya, saya berniat menerima pekerjaan tersebut karena saya ingin segera memperoleh gaji pertama yang nantinya akan saya berikan sebagian untuk orang tua dan agar saya tak lagi membebani mereka. Tapi ternyata, orang tua saya tidak ingin saya bersikap seperti itu. Orang tua saya memberi saya kebebasan untuk mengambil kesempatan-kesempatan lain yang ada di depan sana.

Kesempatan. Iya, kesempatan yang membuat saya melepaskan pekerjaan tersebut. Saya masih ingin mendapat kesempatan-kesempatan lainnya. Saya merasa aneh ketika saya bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, seperti tak ada tantangannya. Walaupun saya ingat betapa groginya saya saat interview in English di depan 3 orang user saat itu. Dan saat ini, saya hanya ingin berusaha lebih keras untuk mendapat kesempatan lebih besar dari yang saya dapatkan kemarin. Karena saya merasa, sesuatu yang didapatkan dengan usaha keras akan menghasilkan sesuatu yang besar pula.


Jakarta, 17 Oktober 2013

Dari Pondok Gede, Bekasi, saya memesan taksi yang akan mengantarkan saya menuju sebuah kantor di daerah Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Sesampainya saya di tempat tujuan saya segera menyelesaikan keperluan—sambil berharap nantinya itu menjadi kantor tempat saya menghabiskan waktu untuk bekerja. Tidak butuh waktu lama mengurus ini itu. Saya segera meninggalkan kantor dan bermaksud pulang menggunakan bus way, walaupun saya bukan orang Jakarta dan sama sekali tak tau jalur bus way. Berbekal informasi yang saya dapat, saya segera menuju halte bus way untuk menanyakan rute. Namun sayang, hari itu bus way di sekitar Jakarta Pusat tidak beroperasi dikarenakan demo buruh di sekitar Monas.

Inigin rasanya menyetop taksi yang lewat dan membatalkan keinginan untuk naik bus way. Tapi kalo saya naik taksi lagi, saya tak akan mendapatkan pengalaman apapun. Iya, pengalamanlah yang saya cari. Saya sama sekali tidak berfikir agar ongkos yang saya keluarkan lebih murah, tapi lebih pada apabila saya naik angkutan umum saya akan bertemu banyak orang dan melihat hal-hal kecil yang mungkin tak pernah saya lihat.

Saya segera bertanya pada teman saya yang asli warga Jakarta. Bertanya kepadanya inisiatif lain selain busway. Sebuah kopaja melintas di depan saya. Dengan cepat saya membaca rute kopaja yang tertulis di kaca depan bus. Seingat saya teman saya tadi menyuruh saya ke Semanggi terlebih dahulu untuk selanjutnya ke Pinang Ranti. Dan Semanggi adalah tempat yang dilewati oleh Kopaja yang tadi lewat di depan saya.

Kopaja dengan angka yang sama seperti tadi kembali lewat. Saya pun bertanya kepada Pak Sopir apakah Kopaja ini melintasi kawasan Semanggi? Pak sopir pun mempersilakan saya untuk naik. Kopaja cukup nyaman menurut saya. Bersih, rapi, dan ber-AC. Saat akan sampai ke daerah Semanggi, seorang pria berseragam coklat yang ternyata petugas bus way menanyakan hendak kemana saya akan pergi. Lalu saya mengecek hp sebentar karena saya lupa nama tempatnya, lalu saya segera menjawab, “ke Pinang ranti, Pak.” Setelah itu petugas tersebut menyarankan agar saya turun di daerah Gatot Subroto untuk transit dan juga bareng  saja dengan salah seorang petugas lain yang juga hendak ke Pinang Ranti. Saya pun ikut saja saran petugas tersebut.

Sampai di Gatot Subroto, saya pun turun bersama seorang laki-laki berpostur tinggi, berkulit hitam, berambut cepak dan terlihat pendiam. Jujur saja saya bingung abis ini saya naik bus way yang mana. Saat sebuah bus way lewat mata saya tertuju ke petugas. Dia tak bergerak, berarti bukan itu bus way nya, pikir saya. Bus way selanjutnya kembali lewat, kali ini laki-laki tersebut menengok kea rah saya dan berkata, “ayok masuk,” lalu mempersilakan saya masuk lebih dahulu disusul  dia dibelakang saya. Bus way kali ini penuh sesak. Tak seperti kopaja yang saya tumpangi tadi yang lebih longgar dan saya pun bisa duduk. Kali ini saya harus berdiri.

Perasaan tak tenang menghampiri saya karena saya nggak tahu ada berapa halte yang harus saya lewati untuk sampai ke Pinang Ranti sementara petugas yang bareng saya tadi menghilang di tengah-tengah sesaknya penumpang. Saya nggak tahu kalo Pinang Ranti itu pemberhentian terakhir, sampai akhirnya temen saya sms kasih tahu rute halte. Tahu gitu saya nggak akan panic (--,)

Sampai di Pinang Ranti saya turun. Laki-laki berkulit hitam tadi berjalan menuju kea rah saya. Saya pun segera mengucapkan terimakasih karena saya tahu, semenjak tadi dia mengawasi saya. Mungkin dia berfikir, “ini orang udik pergi ke kota, kasihan kalo nggak diawasin nanti ilang diculik orang”. Dia pun tersenyum mendengar ucapan saya lalu menanyakan, “mau pulang kemana?”. Saya pun menjawab Pondok Gede. Lalu dia berpesan agar saya hati-hati.

Di sini, saya bingung lagi mau naek angkot yang mana. Saya pun bertanya kepada salah seorang Bapak tua penjual minuman mana angkot yang harus saya tumpangi untuk sampai ke daerah Jati Makmur. Beliau pun menjelaskan saya bisa naik angkot nomer 40. Saya pun mengucapkan terimakasih dan segera menyebrang. Di angkot saya ketakutan soalnya ada pengamen badannya gede, tattoo-an, masuk ke angkot buat ngamen. Untungnya punya recehan. Kalo nggak ngasih saya takut ditodong pisau .___.

Akhirnya sampailah saya di depan Tip Top. Saya segera turun dan berjalan menuju rumah saudara saya. Untungnya nggak ditanya Budhe pulangnya naik apaan, soalnya kalo Budhe tau saya naik angkot mungkin saya akan dimarahi karena kalo di Jakarta saya udah biasa naik taksi ataupun pake mobil sendiri kalo pergi-pergi. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya berhasil pulang naik angkutan umum :D


Jakarta, 23 October 2013

“Pa, aku udah selesai. Kalau nggak lolos nggak papa ya :(
“Ma. Ini gimana test ku :(

Begitulah isi sms yang ku kirim ke mama papaku setelah mengerjakan sebuah tes masuk. Berharap ada keajaiban yang akhirnya membuatku lolos ke tahap berikutnya. Berusaha maksimal itu sudah pasti saya lakukan. Tetapi tentang hasil, hanya Allah yang bisa memutuskan.

Tes tersebut dilakukan di daerah Pondok Ranji, Tangerang. Dan kembali, saya ingin naik angkutan umum kembali ke Jakarta karena waktu berangkat saya sudah menggunakan taksi yang Alhamdulillah banget sopir taksinya baik sekali.

Kali ini saya mencoba naik kereta. Karena mendengar cerita teman-teman saya yang datang ke sini menggunakan commuter line. Karena saya harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu maka teman-teman saya pulang duluan. Walaupun saya nggak tahu rute kereta dan sampai stasiun saya harus naik apa untuk sampai Pondok Gede, saya nekat saja.

Saya membeli tiket Pondok Ranji-Jatinegara. Papa saya was was takutnya saya naik kereta ekonomi. Tapi saya meyakinkan papa saya kalau saya naik commuter line yang artinya keretanya lebih aman dari ekonomi. Commuter line yang menuju Tanah Abang segera datang. Saya segera naik. KRL ini cukup nyaman. Ber-AC, bisa memuat banyak penumpang. Harga tiketnya murah banget.

Kereta sampai ke stasiun Tanah Abang. Berdasar informasi yang saya peroleh dari petugas tiket tadi, setelah ini saya harus beralih ke kereta menuju Jatinegara. Di sini saya galau, soalnya di rute yang saya lihat kalo ke Jatinegara dari Tanah Abang rutenya muter. Tapi saya bisa saja ke Jatinegara lebih cepat dengan melalui rute Tanah Abang-Manggarai, Manggarai-Jatinegara. Saya pun memilih rute Tanah Abang-Manggarai-Jatinegara.

Sampai di Manggarai saya bertanya petugas kalo ke Pondok Gede lebih dekat turun Jatinegara apa Bekasi. Petugas pun nggak ada yang ngerti. Heran juga sih gue. Akhirnya saya memilih akan turun Jatinegara saja karena setahu saya Pondok Gede lebih deket ke Jaktim daripada Bekasi.

Saya menunggu kereta, duduk disebelah ibu-ibu berkerudung pink dan berkacamata. Untuk meyakinkan saya kembali bertanya dengan beliau. Beliau mengatakan lebih dekat Jatinegara lalu tanya saya mau kemana. Saya jawab Pondok Gede. Lalu beliau bertanya kepada seorang bapak yang usianya sekitar 50-an. Beliau menjelaskan kepada saya rute ke Pondok Gede. Berbincang ringan dengan ibu tersebut dan sampai akhirnya ke topic pencarian kerja. Saya bercerita kalau saya kemarin sudah mendapat pekerjaan. Dan setelah mendengar saya bercerita beliau mengatakan bahwa penghasilan yang saya dapatkan sebenarnya sudah cukup tinggi. Setelah bercerita ini itu akhirnya beliau harus bergegas ke jalur sebelah karena kereta yang akan beliau naiki akan segera datang. Beliau tak lupe berpesan kepada saya agar hati-hati dan tidak sembarangan bertanya pada orang-orang.

Setelah kereta beliau datang, kereta saya segera datang. Bapak yang ber-usia sekitar 50 tadi ternyata naik kereta yang sama dengan saya dan kebetulan tujuan kami sama. Seperti petugas bus way tempo hari, beliau juga mengawasi saya. Jarak manggarai-jatinegara sangat dekat sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai. Turun di Jatinegara, beliau menunjukkan angkutan mana yang harus saya naiki. Beliau pun mengawasi saya dari menyebrang sampai naik angkot. Ahh! baik sekali.

M-02 adalah angkutan yang akan mengantarkan saya ke kampung melayu yang selanjutnya saya harus berganti ke angkot 28 yang akan menuju Pondok Gede. Penumpang M-02 pun sepertinya tau saya bukan orang asli sana sehingga saat mau sampai beliau bilang, “di depan sana mbak kampung melayu, nanti nyebrangnya hati-hati ya sini ramai.” Begitu juga penumpang angkot 28 yang menjelaskan ke saya berapa ongkos yang harus saya bayarkan. Alhamdulillah sekali saya bertemu dengan orang-orang baik.

Sampailah saya ke Pondok Gede dan saya harus melanjutkan ke angkt 02 yang melintasi Jati Makmur. Saya bertanya kepada serang siswi SMP berapa ongkos yang harus saya bayarkan. Mereka menjawab dan kami berbincang ringan. Cantik dan baik, kataku dalam hati memperhatikan mereka. Tak butuh waktu lama, saya segera turun.

Setengah lima sore saya sampai di rumah. Itu berarti saya membutuhkan waktu 3 jam perjalanan. Cukup lama memang jika dibandingkan naik taksi yang hanya memakan waktu 1 jam. Tapi kembali, saya merasa senang. Bertemu dengan orang-orang baik hati. Ada hal yang bisa diceritakan dan banyak hal yang dijadikan pengalaman.

PS
Terimakasih sekali untuk mas-mas petugas bus way yang mengawasi saya dari kejauhan. Bapak penjual minuman di Pinang Ranti. Sopir Taksi yang mengantar saya ke Pondok Ranji. Ibu dan bapak yang bertemu di manggarai. Juga penumpang angkot M-02, 28, dan 02. Terimakasih sekali semuanya! :D

PS (lagi)
Jadi ternyata banyak yang nyasar ke postingan gue ini dengan tag 'ongkos taksi'. Gue mau coba membantu. Ongkos taksi di Jakarta sekarang ini (tahun 2014) untuk open gate-nya sekitaran 7500, per km sekitar 4000. Jadi kalau mau naik taksi boleh tuh dikalkulasi dulu mau nempuh jarak berapa km, masuk tol berapa kali, plus biaya perkiraan macet sehingga bisa tahu kira-kira nanti taksinya bakal habis berapa, gitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar