Ceritanya lagi beberes isi laptop. Tapi namanya beberes,
nggak mungkin kan langsung delete gitu aja tanpa dilihat atau dibaca dulu ini
masih perlu atau engga? Dan itu berarti saya harus nanggung resiko flash back
ke masa lalu. Jawabannya tentu saja aka nada rasa galau melanda *ahelah
Saya beli laptop ini sekitar tahun 2010. Mau beli yang baru
tapi ngerasa nggak begitu butuh banget soalnya jarang saya pakai. Palingan
hanya buat nulis dan nonton film doang. Buat kerjaan udah ada pc di kantor dan
saya nggak pernah bekerja di luar jam kantor. Kalaupun harus di luar jam kantor
itu berarti saya lembur dan kerjaan saya kerjakan pakai pc kantor.
Kemarin saya ngopy film lumayan banyak dari hard disk adek
saya. Dan sekarang memory laptop saya udah mulai merah jadi harus diberesin
isinya. Dipilah pilih mana yang masih harus disimpan mana yang sudah seharusnya
saya hapus.
Foto-foto selalu jadi incaran saat beberes laptop karena
fotolah yang mendominasi isi laptop saya disamping lagu dan film hehe.
Saat pertama saya buka folder bersisi capture-an tahun 2012,
kegalauan saya dimulai. Kalian yang kenal saya banget pasti tahu itu masa
kegalauan saya. Lucunya, sekarang saat saya baca saya malu sendiri. Kok saya
bisa selebay itu, ya? Maklumlah anak remaja *alah (ngaku kalau udah tua,
ceritanya). Tapi masa-masa itu membuat saya mengerti siapa orang-orang yang
selalu ada untuk saya yang Alhamdulillah masih stay hingga sekarang.
By the way, meski semua hal itu telah lewat, saya menyadari
luka itu belum sembuh. Masih ada rasa sakit di dalam ketika membaca semua pesan
itu satu per satu. Ketika mengingat kejadian itu keping per keping. Luka itu
masih ada. Apakah itu artinya saya belum bisa memaafkan? Entahlah. Apakah
artinya saya belum move on? Saya nggak tahu. Apakah itu artinya saya ingin dia
kembali ke hidup saya? Oh, kalau yang satu ini tentu tidak. Banyak hal di 2015
yang membuat mata saya terbuka lebar dan menyadari betapa bodohnya saya. Tapi,
entah kenapa, saya ingin satu hal. Saya ingin melihat, dia, yang udah buat saya
patah hati, sakit hati, nangis berhari-hari, sakit muntaber-radang-thypus,
hingga IP saya dua koma. Saya pengen banget lihat dia. Nggak akan saya
apa-apain, cuma mau lihat aja, gitu.
Berlanjut ke capture 2013, yang paling saya ingat capture-an
dari Dinda. Dia ngasih tahu saya kalau saya itu tipe orang insting (ada lima
type: sensing, thinking, insting, instuition, feeling). Itu berarti saya otak
tengah, kanan 50%, kiri 50%. Hal itu membuat saya bisa apa saja, tapi karena
itu saya jadi gampang bosan. Yes, it’s true! Dia bilang gitu ke saya setelah
kenal saya beberapa lama. Dia sadar dari sifat saya yang gampang emosian, tapi
juga cepet redanya, responnya cepat, punya banyak kepribadian jadi susah
ditebak. Mwihihi. Kalau kalian pernah baca salah satu postingan saya, yang judulnya What is Happiness, itu dia
yang bilang. Tujuan saya hanya satu: bahagia. Pokoknya apa aja saya lakuin biar
saya seneng, hihi.
Berlanjut ke 2014 yang isinya kalimat-kalimat motivasi, biar
saya nggak nyerah, sama capture-an jadwal interview saya di sana-sini.
Dan ketika buka folder 2015 lah saya galau lagi. Ada
capture-an dari seseorang. Seseorang yang berhasil membuka mata saya,
bahwasanya selama ini saya bego, banget. Seseorang yang menjadi motivasi saya untuk tetap bertahan,
untuk tetap hidup. Seseorang yang membuat saya mikir, “Kamu selama ini ke mana
aja sih? Saya nyariin kamu.” Dan seseorang yang pernah saya harapkan untuk jadi
yang terakhir tapi ternyata Allah belum mengizinkan. Dia membuat saya terluka,
tapi saya sadar, dia juga pernah membuat saya bahagia. Terima kasih kamu, ya.
Untuk pernah datang ke hidup saya, membuat saya bahagia, membuatku menyadari
bahwasanya tidak ada yang tidak mungkin, dan bahwasanya saya berharga. Terima
kasih, sekali lagi. Terima kasih, untuk semuanya.
Dan ternyata, besok udah 2017 aja, ya. 2016 ini, ah,
sudahlah. Tahun yang lumayan berat buat saya. Apa saja yang terjadi sama saya
di tahun ini dan apa resolusi saya untuk 2017 saya ceritakan kapan-kapan, ya,
hehe. Terima kasih sudah membaca J
Regards,
Karra