Kita bukan Istiqlal dan Katedral, yang
ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Jika
mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka berdua saling jatuh cinta? –
Artasya Sudirman
Tidak perlu ditanya lagi bagaimana
jadinya apabila dua orang yang berbeda cara dalam menyebut nama “Tuhan” menjadi
satu dalam suatu hubungan. Ada beberapa pilihan yang dapat diambil dengan
konsekuensi masing-masing.
Perbedaan tak lagi tabu untuk saya,
karena semenjak kecil saya telah melihat contoh nyata perbedaan tersebut.
Sebuah contoh yang saya sendiri tak ingin mengalami hal itu. Perbedaan itu
indah, entah siapa orang yang pertama kali mengatakan hal itu. Tapi, saya rasa
kalimat itu benar adanya ketika dua orang yang berbeda bisa saling menghargai,
saling menghormati, dan saling melengkapi.
Mungkin, aku dan kamu hanya saling
mengagumi. Tak pernah berharap lebih dari hal ini.
Karena aku dan kamu sama-sama tahu, apa yang akan terjadi apabila aku dan kamu berjalan lebih jauh nanti. Kebahagiaan sesaat yang nantinya juga akan berujung pada sebuah perpisahan.
Karena aku dan kamu sama-sama tahu, apa yang akan terjadi apabila aku dan kamu berjalan lebih jauh nanti. Kebahagiaan sesaat yang nantinya juga akan berujung pada sebuah perpisahan.
Saya hanya ingin mengucapkan
terimakasih, untuk dia yang memakan sisa makanan saya saat buka buasa pertama,
untuk dia yang ada saat kakek saya meninggal dunia 23 Juni lalu, untuk dia yang
tidak suka dengan makanan pedas, untuk dia yang selalu meng-‘iya’-kan apa yang
saya katakan, untuk dia yang (juga) bercita-cita pergi ke paris (seperti saya),
dan untuk dia yang mengacak-acak rambut saya dengan lembut. Terimakasih untuk
pernah lewat di dalam kehidupan saya.
Ahh! Seandainya lo bisa dateng ke
wisuda gue ya *lalu nangis di pojokan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar