Memutuskan meninggalkan pekerjaan yang telah saya dapatkan
dan memulai lagi dari awal, adalah keputusan yang akhirnya saya ambil. Keraguan
yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan tersebut.
Entahlah, saya masih merasa ragu. Ketika kebanyakan teman saya menginginkan
pekerjaan di perusahaan tersebut dan ketika banyak orang-orang di luar sana berpetualang
menjadi jobseeker (seperti saya saat ini yang kembali memilih jalan itu), saya
memilih resign. Banyak yang menganggap saya bodoh, mungkin. Tapi saya percaya
Allah punya banyak pintu rejeki di depan sana.
Saya bersyukur mempunyai orang tua yang selalu mensupport
apapun pilihan saya. Pada awalnya, saya berniat menerima pekerjaan tersebut
karena saya ingin segera memperoleh gaji pertama yang nantinya akan saya
berikan sebagian untuk orang tua dan agar saya tak lagi membebani mereka. Tapi
ternyata, orang tua saya tidak ingin saya bersikap seperti itu. Orang tua saya
memberi saya kebebasan untuk mengambil kesempatan-kesempatan lain yang ada di
depan sana.
Kesempatan. Iya, kesempatan yang membuat saya melepaskan
pekerjaan tersebut. Saya masih ingin mendapat kesempatan-kesempatan lainnya.
Saya merasa aneh ketika saya bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, seperti tak
ada tantangannya. Walaupun saya ingat betapa groginya saya saat interview in
English di depan 3 orang user saat itu. Dan saat ini, saya hanya ingin berusaha
lebih keras untuk mendapat kesempatan lebih besar dari yang saya dapatkan
kemarin. Karena saya merasa, sesuatu yang didapatkan dengan usaha keras akan
menghasilkan sesuatu yang besar pula.
Jakarta, 17 Oktober 2013
Dari Pondok Gede, Bekasi, saya memesan taksi yang akan
mengantarkan saya menuju sebuah kantor di daerah Medan Merdeka Selatan, Jakarta
Pusat. Sesampainya saya di tempat tujuan saya segera menyelesaikan
keperluan—sambil berharap nantinya itu menjadi kantor tempat saya menghabiskan
waktu untuk bekerja. Tidak butuh waktu lama mengurus ini itu. Saya segera
meninggalkan kantor dan bermaksud pulang menggunakan bus way, walaupun saya
bukan orang Jakarta dan sama sekali tak tau jalur bus way. Berbekal informasi
yang saya dapat, saya segera menuju halte bus way untuk menanyakan rute. Namun
sayang, hari itu bus way di sekitar Jakarta Pusat tidak beroperasi dikarenakan demo
buruh di sekitar Monas.
Inigin rasanya menyetop taksi yang lewat dan membatalkan
keinginan untuk naik bus way. Tapi kalo saya naik taksi lagi, saya tak akan
mendapatkan pengalaman apapun. Iya, pengalamanlah yang saya cari. Saya sama
sekali tidak berfikir agar ongkos yang saya keluarkan lebih murah, tapi lebih
pada apabila saya naik angkutan umum saya akan bertemu banyak orang dan melihat
hal-hal kecil yang mungkin tak pernah saya lihat.
Saya segera bertanya pada teman saya yang asli warga
Jakarta. Bertanya kepadanya inisiatif lain selain busway. Sebuah kopaja
melintas di depan saya. Dengan cepat saya membaca rute kopaja yang tertulis di
kaca depan bus. Seingat saya teman saya tadi menyuruh saya ke Semanggi terlebih
dahulu untuk selanjutnya ke Pinang Ranti. Dan Semanggi adalah tempat yang
dilewati oleh Kopaja yang tadi lewat di depan saya.
Kopaja dengan angka yang sama seperti tadi kembali lewat.
Saya pun bertanya kepada Pak Sopir apakah Kopaja ini melintasi kawasan
Semanggi? Pak sopir pun mempersilakan saya untuk naik. Kopaja cukup nyaman
menurut saya. Bersih, rapi, dan ber-AC. Saat akan sampai ke daerah Semanggi,
seorang pria berseragam coklat yang ternyata petugas bus way menanyakan hendak
kemana saya akan pergi. Lalu saya mengecek hp sebentar karena saya lupa nama
tempatnya, lalu saya segera menjawab, “ke Pinang ranti, Pak.” Setelah itu
petugas tersebut menyarankan agar saya turun di daerah Gatot Subroto untuk
transit dan juga bareng saja dengan
salah seorang petugas lain yang juga hendak ke Pinang Ranti. Saya pun ikut saja
saran petugas tersebut.
Sampai di Gatot Subroto, saya pun turun bersama seorang
laki-laki berpostur tinggi, berkulit hitam, berambut cepak dan terlihat
pendiam. Jujur saja saya bingung abis ini saya naik bus way yang mana. Saat sebuah
bus way lewat mata saya tertuju ke petugas. Dia tak bergerak, berarti bukan itu
bus way nya, pikir saya. Bus way selanjutnya kembali lewat, kali ini laki-laki
tersebut menengok kea rah saya dan berkata, “ayok masuk,” lalu mempersilakan
saya masuk lebih dahulu disusul dia
dibelakang saya. Bus way kali ini penuh sesak. Tak seperti kopaja yang saya
tumpangi tadi yang lebih longgar dan saya pun bisa duduk. Kali ini saya harus
berdiri.
Perasaan tak tenang menghampiri saya karena saya nggak tahu
ada berapa halte yang harus saya lewati untuk sampai ke Pinang Ranti sementara
petugas yang bareng saya tadi menghilang di tengah-tengah sesaknya penumpang.
Saya nggak tahu kalo Pinang Ranti itu pemberhentian terakhir, sampai akhirnya
temen saya sms kasih tahu rute halte. Tahu gitu saya nggak akan panic (--,)
Sampai di Pinang Ranti saya turun. Laki-laki berkulit hitam
tadi berjalan menuju kea rah saya. Saya pun segera mengucapkan terimakasih
karena saya tahu, semenjak tadi dia mengawasi saya. Mungkin dia berfikir, “ini
orang udik pergi ke kota, kasihan kalo nggak diawasin nanti ilang diculik
orang”. Dia pun tersenyum mendengar ucapan saya lalu menanyakan, “mau pulang
kemana?”. Saya pun menjawab Pondok Gede. Lalu dia berpesan agar saya hati-hati.
Di sini, saya bingung lagi mau naek angkot yang mana. Saya
pun bertanya kepada salah seorang Bapak tua penjual minuman mana angkot yang
harus saya tumpangi untuk sampai ke daerah Jati Makmur. Beliau pun menjelaskan
saya bisa naik angkot nomer 40. Saya pun mengucapkan terimakasih dan segera
menyebrang. Di angkot saya ketakutan soalnya ada pengamen badannya gede,
tattoo-an, masuk ke angkot buat ngamen. Untungnya punya recehan. Kalo nggak
ngasih saya takut ditodong pisau .___.
Akhirnya sampailah saya di depan Tip Top. Saya segera turun
dan berjalan menuju rumah saudara saya. Untungnya nggak ditanya Budhe pulangnya
naik apaan, soalnya kalo Budhe tau saya naik angkot mungkin saya akan dimarahi
karena kalo di Jakarta saya udah biasa naik taksi ataupun pake mobil sendiri
kalo pergi-pergi. Ada kebahagiaan tersendiri ketika saya berhasil pulang naik
angkutan umum :D
Jakarta, 23 October 2013
“Pa, aku udah selesai. Kalau nggak lolos nggak papa ya :(”
“Ma. Ini gimana test ku :(”
Begitulah isi sms yang ku kirim ke mama papaku setelah mengerjakan
sebuah tes masuk. Berharap ada keajaiban yang akhirnya membuatku lolos ke tahap
berikutnya. Berusaha maksimal itu sudah pasti saya lakukan. Tetapi tentang
hasil, hanya Allah yang bisa memutuskan.
Tes tersebut dilakukan di daerah Pondok Ranji, Tangerang.
Dan kembali, saya ingin naik angkutan umum kembali ke Jakarta karena waktu
berangkat saya sudah menggunakan taksi yang Alhamdulillah banget sopir taksinya
baik sekali.
Kali ini saya mencoba naik kereta. Karena mendengar cerita
teman-teman saya yang datang ke sini menggunakan commuter line. Karena saya
harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu maka teman-teman saya pulang
duluan. Walaupun saya nggak tahu rute kereta dan sampai stasiun saya harus naik
apa untuk sampai Pondok Gede, saya nekat saja.
Saya membeli tiket Pondok Ranji-Jatinegara. Papa saya was
was takutnya saya naik kereta ekonomi. Tapi saya meyakinkan papa saya kalau
saya naik commuter line yang artinya keretanya lebih aman dari ekonomi.
Commuter line yang menuju Tanah Abang segera datang. Saya segera naik. KRL ini
cukup nyaman. Ber-AC, bisa memuat banyak penumpang. Harga tiketnya murah
banget.
Kereta sampai ke stasiun Tanah Abang. Berdasar informasi
yang saya peroleh dari petugas tiket tadi, setelah ini saya harus beralih ke
kereta menuju Jatinegara. Di sini saya galau, soalnya di rute yang saya lihat
kalo ke Jatinegara dari Tanah Abang rutenya muter. Tapi saya bisa saja ke
Jatinegara lebih cepat dengan melalui rute Tanah Abang-Manggarai,
Manggarai-Jatinegara. Saya pun memilih rute Tanah Abang-Manggarai-Jatinegara.
Sampai di Manggarai saya bertanya petugas kalo ke Pondok
Gede lebih dekat turun Jatinegara apa Bekasi. Petugas pun nggak ada yang
ngerti. Heran juga sih gue. Akhirnya saya memilih akan turun Jatinegara saja
karena setahu saya Pondok Gede lebih deket ke Jaktim daripada Bekasi.
Saya menunggu kereta, duduk disebelah ibu-ibu berkerudung
pink dan berkacamata. Untuk meyakinkan saya kembali bertanya dengan beliau.
Beliau mengatakan lebih dekat Jatinegara lalu tanya saya mau kemana. Saya jawab
Pondok Gede. Lalu beliau bertanya kepada seorang bapak yang usianya sekitar
50-an. Beliau menjelaskan kepada saya rute ke Pondok Gede. Berbincang ringan
dengan ibu tersebut dan sampai akhirnya ke topic pencarian kerja. Saya
bercerita kalau saya kemarin sudah mendapat pekerjaan. Dan setelah mendengar
saya bercerita beliau mengatakan bahwa penghasilan yang saya dapatkan
sebenarnya sudah cukup tinggi. Setelah bercerita ini itu akhirnya beliau harus
bergegas ke jalur sebelah karena kereta yang akan beliau naiki akan segera
datang. Beliau tak lupe berpesan kepada saya agar hati-hati dan tidak
sembarangan bertanya pada orang-orang.
Setelah kereta beliau datang, kereta saya segera datang.
Bapak yang ber-usia sekitar 50 tadi ternyata naik kereta yang sama dengan saya
dan kebetulan tujuan kami sama. Seperti petugas bus way tempo hari, beliau juga
mengawasi saya. Jarak manggarai-jatinegara sangat dekat sehingga tak butuh
waktu lama untuk sampai. Turun di Jatinegara, beliau menunjukkan angkutan mana
yang harus saya naiki. Beliau pun mengawasi saya dari menyebrang sampai naik
angkot. Ahh! baik sekali.
M-02 adalah angkutan yang akan mengantarkan saya ke kampung
melayu yang selanjutnya saya harus berganti ke angkot 28 yang akan menuju
Pondok Gede. Penumpang M-02 pun sepertinya tau saya bukan orang asli sana
sehingga saat mau sampai beliau bilang, “di depan sana mbak kampung melayu,
nanti nyebrangnya hati-hati ya sini ramai.” Begitu juga penumpang angkot 28
yang menjelaskan ke saya berapa ongkos yang harus saya bayarkan. Alhamdulillah
sekali saya bertemu dengan orang-orang baik.
Sampailah saya ke Pondok Gede dan saya harus melanjutkan ke
angkt 02 yang melintasi Jati Makmur. Saya bertanya kepada serang siswi SMP
berapa ongkos yang harus saya bayarkan. Mereka menjawab dan kami berbincang
ringan. Cantik dan baik, kataku dalam hati memperhatikan mereka. Tak butuh
waktu lama, saya segera turun.
Setengah lima sore saya sampai di rumah. Itu berarti saya
membutuhkan waktu 3 jam perjalanan. Cukup lama memang jika dibandingkan naik
taksi yang hanya memakan waktu 1 jam. Tapi kembali, saya merasa senang. Bertemu
dengan orang-orang baik hati. Ada hal yang bisa diceritakan dan banyak hal yang
dijadikan pengalaman.
PS
Terimakasih sekali untuk mas-mas petugas bus way yang
mengawasi saya dari kejauhan. Bapak penjual minuman di Pinang Ranti. Sopir
Taksi yang mengantar saya ke Pondok Ranji. Ibu dan bapak yang bertemu di
manggarai. Juga penumpang angkot M-02, 28, dan 02. Terimakasih sekali semuanya!
:D
PS (lagi)
Jadi ternyata banyak yang nyasar ke postingan gue ini dengan tag 'ongkos taksi'. Gue mau coba membantu. Ongkos taksi di Jakarta sekarang ini (tahun 2014) untuk open gate-nya sekitaran 7500, per km sekitar 4000. Jadi kalau mau naik taksi boleh tuh dikalkulasi dulu mau nempuh jarak berapa km, masuk tol berapa kali, plus biaya perkiraan macet sehingga bisa tahu kira-kira nanti taksinya bakal habis berapa, gitu.
PS (lagi)
Jadi ternyata banyak yang nyasar ke postingan gue ini dengan tag 'ongkos taksi'. Gue mau coba membantu. Ongkos taksi di Jakarta sekarang ini (tahun 2014) untuk open gate-nya sekitaran 7500, per km sekitar 4000. Jadi kalau mau naik taksi boleh tuh dikalkulasi dulu mau nempuh jarak berapa km, masuk tol berapa kali, plus biaya perkiraan macet sehingga bisa tahu kira-kira nanti taksinya bakal habis berapa, gitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar