Ketika suatu buku menyebutkan bahwa “bahu” adalah bagian
tubuh yang paling penting, aku tak menerima hal itu begitu saja. Aku lama
berfikir. Kenapa bukan jantung? Bukankah jantung banyak berjasa buat tubuh
kita? Jantung lah yang memompa darah, dibantu pembuluh darah yang
mendistribusikan aliran darah didalam tubuh kita. Kenapa bukan paru-paru? Tanpa
paru-paru, manusia tak dapat bernafas dengan baik. Paru-parulah tempat
pertukaran udara antara oksigen dan juga karbon dioksida. Tanpa paru-paru,
karbon dioksida akan berkumpul didalam tubuh dan menjadi toxic yang mematikan.
Kenapa bukan hati? Tanpa adanya hati dan juga empedu, siapa yang membersihkan
racun-racun didalam tubuh? Bukankah tanpa hati manusia juga akan mati rasa?
Aku pergi ke suatu café yang nampak ramai. Begitu ku buka
pintu, seorang pelayan menyambutku dengan ramah. Tanpa berfikir panjang aku
menuju meja paling pojok karena menurutku di situlah spot yang paling enak.
Dari situ, kamu bisa melihat ke arah manapun dengan leluasa.
“Hot chocolate satu ya, Mbak,” pesanku pada pelayan yang
telah berada di depanku.
“Oh iya, silakan ditunggu,” lalu pelayan itu pergi.
Meninggalkanku seorang diri.
Aku melihat meja di sebelahku. Sepasang kekasih sedang
berbincang-bincang. Si wanita tertawa hingga giginya yang begitu rapi terlihat
oleh siapaun yang melihatnya. Si pria mengacak-acak rambutnya dengan lembut.
Aku melihat jauh ke depan. Disana ada segerombolan murid SMA
yang masih berseragam. Ada yang sibuk membaca novel, ada yang sibuk bermain
gadget, ada beberapa yang saling bercanda, dan ada seseorang yang terdiam.
Entah apa yang dia fikirkan.
“Hai!” terlihat seorang wanita setengah baya, memakai dress
selutut warna merah dan juga high heels hitam yang membuatnya nampak begitu
tinggi menyapaku dari arah pintu masuk.
“Halo!” jawabku singkat.
Kemudian dia duduk di depanku, menceritakan ini dan itu.
Mulai soal kuliah, soal fashion, soal music, soal film dan sampai mengenai
keluarganya. Beberapa kemudian ada seorang pria menghampiri meja kami.
Tersenyum ramah kepadaku. Dan tak lama kemudian, gadis didepanku berdiri.
Menggandeng tangan pria itu, lalu pergi, meninggalkanku. Kejadian seperti itu
entah sudah berapa kali ku alami.
Entah gelas ke berapa yang diantarkan pelayan ini ke meja
tempat dimana aku duduk sekarang. Entah sudah berapa banyak orang yang datang
dan pergi ke café ini. Entah sudah berapa lama, aku masih terdiam di sini.
Kini aku mengerti, mengapa bahu menjadi sangat penting. Bahu
menjadi tempat bersandar, seperti yang dilakukan sekawanan remaja belasan tahun
yang kini berada di meja yang hanya selisih dua meja dariku. Remaja itu
menyandarkan kepalanya ke bahu salah seorang temannya sambil asyik menelfon
seseorang yang entah berada dimana. Bahu juga tempat untuk tangan ini berpegang
erat. Seperti yang dilakukan seorang wanita yang baru saja masuk ke café ini
sambil memegang erat bahu kekasihnya. Bahu juga menjadi tempat untuk menanggung beban. Bukankah ketika datang sebuah cobaan sebaiknya kita meminta pada Tuhan untuk diberikan bahu yang lebih kuat? Bukan pada mengurangi beban yang harus kita pikul. Dan yang paling penting, bahu bisa
menjadi tempat untuk kita menangis. Iya, seperti sekarang. I need a shoulder,
to cry on :”)
Semarang,
7 March 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar